Kamis, 28 Maret 2019

KEUNGGULAN IKAN MAS MANTAP

Guna lebih memperkaya jenis dan varietas Ikan Mas yang beredar di masyarakat, telah dihasilkan Ikan Mas Mantap sebagai jenis ikan baru yang merupakan hasil seleksi berdasarkan marka molekuler yang dilakukan oleh Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Dalam rangka memperkenalkan Ikan Mas Mantap sebagai komoditas unggul baru dalam perikanan budidaya guna menunjang peningkatan produksi perikanan budidaya serta peningkatan produksi Ikan Mas nasional, pendapatan, dan kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas Ikan Mas Mantap. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 24/KEPMEN-KP/2015 tentang PELEPASAN IKAN MAS MANTAP.


Sumber:
http://jdih.kkp.go.id/

Senin, 25 Maret 2019

NUTRISI PAKAN IKAN

Fungsi makanan bagi ikan adalah sebagai sumber energi yang diperlukan dalam proses fisiologis ditubuh ikan. Oleh karena itu makanan harus mengandung zat-zat pengahasil energi yaitu protein, lemak, karbohidrat selain itu juga makanan harus mengandung vitamin, mineral, serat dan air. Zat-zat makanan yang terkandung didalam makanan tersebut disebut zat gizi atau nutrien.
A. Protein
Protein merupakan unsur yang paling penting dalam penyusunan formulasi pakan karena usaha budidaya mengharapkan pertumbuhan ikan yang cepat. Dalam hal ini mempunyai fungsi bagi tubuh ikan yaitu :
1. Sebagai zat pembangun yang membentuk jaringan baru untuk pertumbuhan, menganti jaringan yang rusak maupun untuk reproduksi.
2. Sebagai zat pengatur yang berperan untuk pembentukkan enzim dan hormon penjaga dan pengatur berbagai proses metabolisme didalam tubuh.
3. sebagai zat pembakar karena unsur karbon yang terkandung didalamnya dapat difungsikan sebagai sumber energi pada saat kebutuhan energi tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Molekul protein tesusun dari sejumlah asam amino sebagai bahan dasar. Mutu protein sangat ditentukan oleh komposisi asam amino penyususunnya komposisi ini akan berbeda antara satu bahan dengan bahan lainnya. Kebutuhan protein sangat bervariasi tergantung pada umur, stadia ikan. Ikan pada stadia yang muda membutuhkan tingkat protein yang tinggi untuk mendukung pertumbuhannya daripada ikan yang dewasa. Pakan formula untuk larva, benih umumnya mengandung 5 – 10% protein lebih tinggi dibandingkan pada pakan formula untuk ikan-ikan yang lebih besar.
B. Lemak
Dalam kimia pakan istilah lemak disebut juga fat, lipid, oil. Lemak berfungsi sebagai sumber energi dan membantu penyerapan mineral-mineral tertentu (terutama kalsium) serta vitamin yang mudah larut dalam leman (vitamin A, D, E, K). Dalam kaitannnya dengan pakan buatan pengunaan lemak berpengaruh pada tekstur dan rasa pakan yang dibuat. Lemak tergolong mudah teroksidasi sehingga penggunaanya dalam pembuatan pakan jumlahnya dibatasi. Jika kandungan lemak yang digunakan terlalu tinggi akan tidak efiseien. Sebab ikan yang mengkonsumsi lemak terlalu tinggi cenderung makan dalam jumlah sedikit.
C. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat sumber energi dan pada umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang pembentukkannya melalui proses fotosintesis dengan bantuan sinar matahari. Fungis karbohidar dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi yang murah dan juga sebagai perekat. Dalam formulasi pakan karbohidrat termasuk kelompok yang sering disebut NFE (Nitogen Free Extract) atau dalam bahasa Indonesia BETN (Bahan Extract Tanpa Nitrogen). Kemampuan ikan untuk memanfaakan karbohidrat sangat tergantung pada jenis ikan. Pada ikan karnivora kadar karbohidrat lebih dari 12% dalam pakannya akan menyebabkan penimbunan glikogen dalam hatinya yang dapat menyebabkan kematian. Tetapi ikan pemakan segala (omnivora) dapat hidup baik dengan kadar karbohidratnya lebih dari 50%. Serat termasuk keluarga karbohidrat yang sukar dicerna. Serat biasanya digolongkan sebagai bahan bukan sumber energi namun penambahan serat dapat memperbaiki proses asimilasi zat-zat makanan, memantapkan bentuk pakan yang berguna membentuk gumpalan ampas makanan menjadi feses (kotoran) yang mudah dikeluarkan dari saluran makanan. Pengunaan serat kasar pada makanan ikan tidak lebih dari 8% karena jika terlalu banyak akan menganggu proses pencernaan dan penyerapan sari makanan.
D. Vitamin
Vitamin adalah senyawa komplek yang dibutuhkan dalam berbagai proses. Walaupun tidak merupakan sumber tenaga tetapi dibutuhkan sebagai sumber katalisator terjadinya proses metabolisme didalam tubuh. Secara umum vitamin dibedakan menjadi dua macam yaitu vitamin yan larut dalam lemak (Vitamin A, D, E, K) dan vitamin yangt larut dalam air (Vitamin B dan C). Kekurangan vitamin dapat menyebabkan terjadinya gejala umum seperti napsu makan turun, warna ikan abnormal, ikan kelihatan gelisah, keseimbangan ikan hilang, pembentukan lendir terganggu, ikan mudah terserang penyakit atau bakteri, ikan mudah kena luka bakar karena sinar matahari.
E. Mineral
Mineral dalam makanan ikan mempunyai peranan penting karena ikan tida dapat memproduksi mineral sendiri. Zat-zat mineral dalam tubuh ikan banyak memiliki fungsi antara lain : membentuk bagian dari kerangka, gigi, kulit dan hemoglobin. Mempertahankan sistem celloid (tekanan osmose, vicosity, difusi) dan sebagai buffer untuk mempertahankan keasaman pada lenel tertentu.
F. Air
Kadar air merupakan pengencer nutrien dalam bahan pakan. Kadar air dalam bahan pakan sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme dan pembentukan cairan tubuh. Ikan-ikan air tawar menyerap air melalui selaput permeabel pada ingsang dan alat tubuh lainnya, sedangkan ikan laut menelan air melalui mulut.

Sumber:
Riva’i A. 2012. Aspek Nutrisi Makanan Ikan. Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kamis, 21 Maret 2019

BUDIDAYA CACING SUTERA

1. BIOLOGI CACING SUTRA
Cacing sutra (Tubifex sp) merupakan salah satu pakan alami yang paling banyak digunakan bagi kegiatan budidaya ikan khususnya pembenihan. Cacing sutra dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama Cacing rambut atau Cacing darah karena ukurannya yang sangat kecil seukuran rambut dan warnanya kemerahan dengan panjang sekitar 1-3 cm. Cacing sutra ini bisa diperoleh dari hasil tangkapan di alam (perairan umum) atau mengkultur sendiri (budidaya). Cacing sutra merupakan salah satu alternatif pakan alami yang dapat dipilih untuk ikan fase larva hingga benih ataupun untuk ikan hias.
2. KLASIFIKASI CACING SUTRA
Phylum : Annelida
Class : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Tubificidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp
Cacing sutra (Tubifex sp) tidak memiliki insang dan bentuk tubuh kecil dan tipis. Cacing sutra membuat tabung pada lumpur di dasar perairan, di mana bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung bergerak bolak-balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air, sehingga terjadi sirkulasi air dan Cacing sutra akan memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya. Getaran pada bagian posterior tubuh dari Cacing sutra dapat membantu fungsi pernafasan. Cacing sutra tergolong hewan hermaprodit yang berkembang biak melalui telur dengan pembuahan secara eksternal. telur yang dibuahi oleh jantan akan membelah jadi dua sebelum saat menetas.
3. SYARAT HIDUP CACING SUTRA
Cacing sutra dikenal juga sebagai Cacing rambut ini dapat hidup pada subtrat lumpur dengan kedalaman antara 0 – 4 cm. Pada prinsipnya hidupnya sama dengan hewan air lainnya yaitu ketergantungan dengan air. Air memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting untuk hidup dan dalam tumbuh kembangnya. Kualitas air yang cocok untuk budidaya Cacing sutra adalah:
 pH antara 5. 5 – 8. 0
 Suhu antara: 25 – 28o c
 DO (oksigen terlarut ) : 2, 5 – 7, 0 ppm
 Jumlah debit air secukupnya dan tidak terlalu besar mengingat Cacing ini sangat kecil.
4. PEMILIHAN LOKASI
 Lokasi yang cocok untuk budidaya Cacing sutra harus mendapatkan cahaya matahari yang cukup
 Kondisi air untuk budidaya harus mengandung lumpur dan kaya akan bahan organic
5. PERSIAPAN BIBIT
 Bibit Cacing sutra yang akan tebar, terlebih dahulu dikarantina selama 2-3 hari dengan cara dialiri air bersih dengan debit yang kecil sehingga bibit Cacing memiliki kandungan oksigen yang cukup dan kesehatan Cacing sutra akan terpelihara, jauh dari bakteri patogen yang sangat membahayakan bagi ikan yang memakannya
 Ciri morfologi Cacing sutra cecara mikroskopik adalah tubuhnya berwarna merah kecoklatan karena banyak mengandung haemoglobin. Pada setiap segmen di bagian punggung dan perut akan keluar seta dan ujungnya bercabang dua tanpa rambut. Bentuk tubuh agak panjang dan silindris, mempunyai dinding yang tebal terdiri dari dua lapis otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya
6. WADAH DAN MEDIA KULTUR TUBIFEX
A. Kolam tanah
Media kultur Cacing Tubifex dengan wadah kolam tanah adalah berupa lumpur selokan setebal 5 cm yang dicampur rata dengan kotoran hewan (ayam, Kambing, burung dll) sebanyak 100 - 250 g/m2 atau dedak sebanyak 200-250 g/m2. Rendam media tersebut selama 3-4 hari. Kotoran hewan yang akan dipakai sebagai media harus dibersihkan dari bahan-bahan lain dan dijemur di bawah terik matahari selama 1 hari atau dalam kondisi kering. Setelah di rendam selama 3-4 hari, aliri media dengan air secara kontiniu dengan debit yang kecil
B. Bak semen
Wadah kultur dengan bak semen dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengisi dasar bak dengan lumpur halus yang berasal dari saluran atau kolam yang dianggap banyak mengandung bahan organik hingga ketebalan mencapai 10 cm. selanjutnya masukkan kotoran hewan kering sebanyak tiga karung atau sesuaikan dengan luas wadah, kemudian sebar secara merata dan selanjutnya diaduk dengan lumpur. Setelah dianggap rata kemudian genangi bak semen tersebut dengan air dengan kedalaman maksimum 5 cm atau sesuaikan dengan panjang pipa pembuangan. Pasang atap peneduh untuk mencegah tumbuhnya lumut di bak semen yang sudah tergenang air tersebut dibiarkan selama satu minggu agar kandungan gas hilang.
C. Media Tray / Nampan Plastik
Media dengan mengunakan nampan plastik dilakukan dengan sistim rak. Saluran masuknya air cukup ditaruh pada nampan paling atas. Kemudian beri lubang pada samping nampan tepat ditengah. Sehingga nampan paling atas jika sudah terisi setengah kelebihan air akan mengalir pada nampan dibawahnya. Dan untuk bagian paling bawah . Sebelum diisi air, beri nampan campuran lumpur sawah dan pasir. Untuk menambah nutrisi, beri lumpur yang telah dicampur dengan kotoran hewan dan ampas tahu yang sudah difermentasi dengan EM4. Diamkan dahulu 5 hari. Kemudian air dimasukkan setinggi 5 cm,
D. Rak Terpal Bersusun
Media budidaya yang digunakan pada metode rak terpal bersusun adalah dengan melakukan proses fermentasi campuran tanah, pasir, dan kotoran hewan dengan bahan EM-4. Setelah media terfermentasi dengan baik, kemudian dilakukan pemindahan media kedalam wadah rak terpal bersusun. Selanjutnya wadah tersebut digenangi air setebal 5 cm dari permukaan media. Kemudian dibiarkan sampai media tidak berbau.
7. PEMUPUKAN
Pemupukan perlu dilakukan sebagai Asupan makanan untuk pertumbuhan Cacing sutra. Pemupukan dilakukan dengan dedak halus atau ampas tahu sebanyak 200 – 250 gr/M2 atau dengan pupuk kandang sebanyak 300 gr/m2 sebagai sumber makanan Cacing sutra. Cacing sutra sangat menyukai bahan organik sebagai bahan makanannya. Pemupukan ulang dengan menambahkan kotoran ayam sebanyak 9 % dari volume awal dapat dilakukan setiap minggu.
8. PENANAMAN BIBIT
Setelah media dalam setiap wadah kultur Cacing sutra direndam selama 5-7 hari atau sampai media kultur tidak berbau. Dilakukan penebaran Bibit yang telah dibersihkan. Bibit Cacing ditebar 1 liter/m2 kedalam lubang-lubang kecil dalam media kultur dengan jarak antara lubang sekitar 10-15 cm. Cacing sutra ini ditebarkan secara merata. Selama proses budidaya wadahpemeliharaan dialiri air dengan debit 2-5 Liter/detik (arus lamban).
9. PEMELIHARAAN
- Selama pemeliharaan, air dialirkan kedalam media secara terus menerus dengan debit air yang cukup untuk menjamin ketersediaan oksigen dalam media
- Makanannya adalah bahan organik yang bercampur dengan lumpur atau sedimen di dasar perairan
- Selama pemeliharaan Cacing diberi pakan sebanyak 100% dari bobot biomassa dengan frekuensi 3 hari sekali
- Bahan pakan yang diberikan berupa ampas tahu atau campuran (ampas tahu + molase+ probiotik)
10. PEMANENAN
- Panen bisa dilakukan setiap dua minggu sekali selama beberapa minggu secara berturut-turut selama budidaya berlangsung.
- Pemanenan Cacing sutra dilakukan dengan menggunakan serok dengan bahan yang halus/lembut
- Cacing sutra yang baru panen masih bercampur dengan media budidaya, dimasukkan kedalam ember atau bak yang diisi air kira –kira 1 cm diatas media budidaya. Kemudian ember ditutup hingga bagian dalam menjadi gelap dan dibiarkan selama enam jam hingga Cacing sutra naik ke permukaan media budidaya.
- Cacing rambut yang sudah menggerombol diatas media kemudian diambil dengan tangan, kemudian dipindahkan ke wadah bersih yang telah dipasang aerasi.


SUMBER:
Direktorat Pakan, 2016. Budidaya Cacing Sutra (Tubifex sp). Direktorat Pakan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan Dan Perikanan, Jakarta

Senin, 18 Maret 2019

Teknologi Pakan Formulasi untuk Peningkatan Kualitas Warna Ikan Koi Strain Kohaku

Teknologi pakan formulasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas warna ikan Koi strain Kohaku. Manfaat yang dihasilkan adalah teknologi ini dapat diadopsi oleh pembudidaya ikan koi dan pengusaha pakan skala kecil dan menengah sehingga terjadi peningkatan kualitas warna ikan Koi strain Kohaku yang berdampak pada meningkatnya produksi ikan Koi strain Kahaku Grade I dan II hingga lebih dari 70%. Kegunaan teknologi ini adalah mudah dan aplikatif, biaya produksi rendah, digunakan hanya sekitar 1 bulan sebelum ukuran jual, selisih harga produksi ikan yang dipanen pada ukuran 4-5 inchi lebih tinggi hingga Rp. 1.500,- per ekor.
PERSYARATAN TEKNIS PENERAPAN TEKNOLOGI
 Teknologi diaplikasikan pada ikan Koi strain Kohaku berbagai ukuran siap jual;
 Wadah yang digunakan dapat berupa akuarium secara indoor ataupun kolam (beton, atau tanah) secara outdoor;
 Bahan baku pakan dapat menggunakan bahan baku lokal dengan formulasi kandungan nutrisi dan karotenoid yang telah ditentukan - Formulasi utama adalah tepung wortel dan astaksantin sintetis dengan dosis sesuai formulasi.
URAIAN SECARA LENGKAP DAN DETAIL SOP
Formulasi Pakan
Pengujian terhadap pakan dilakukan pada strain ikan Koi Kohaku, dengan perlakuan pakan AWKoi (pakan Koi strain Kohaku) yang berbeda. Dalam aplikasi dapat digunakan benih ikan Koi strain Kohaku dengan ukuran 9-13 cm, dipelihara dalam kolam beton secara langsung ataupun hapa pada kolam tanah dengan padat tebar 20 ekor per m3. Pakan diberikan 3 kali sehari (pagi, siang, sore), sebanyak 5% dari bobot biomasa. Pakan AWKoi dibuat dalam bentuk pellet tenggelam berdasarkan formulasi berikut ini :
Tabel 1. Formulasi pakan ikan Koi (AWKoi) strain Kohaku.
Pemilihan Bahan Baku Pakan
Bahan baku yang digunakan dalam formulasi pakan AWKoi dapat disesuaikan dengan ketersediaan dimana tempat teknologi ini akan diterapkan dengan melakukan analisis proksimat terlebih dahulu. Tepung ikan impor penggunaanya bisa digantikan sebagian dengan menggunakan tepung ikan lokal dengan kandungan protein minimal 60%, kecernaan pepsin (0,02%) lebih dari 90% dan TVBN < 120 ppm. Tepung wortel sebagai sumber karotenoid dapat disubtitusi dengan sumber karotenoid alami lainnya seperti tepung alga, karapas krustase, CGM dan tepung bunga marigold.
Proses Pembuatan Pakan
Pakan AWKoi dalam formulasi yang telah direncanakan dapat dibuat dengan proses yang sangat sederhana menggunakan alat pembuat pakan manual, semi mesin atau mesin dengan berbagai kapasitas produksi sesuai kebutuhan. Pada gambar 11 terdapat beberapa contoh alat pembuat pakan yang umumnya tersedia di tingkat pembudidaya.
Dalam proses pembuatan pakan menjadi pellet, pencampuran dan komposisi bahan baku pakan sangat menentukan keberhasilan dan tekstur pakan yang akan dihasilkan, Penimbangan jumlah bahan baku yang tepat sesuai dengan formulasi akan menentukan efektivitas penggunaan pakan pada ikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Dalam hal ini pakan AWKoi adalah pakan yang ditujukan bagi peningkatan kualitas warna ikan hias koi serta pertumbuhan yang optimal. Penimbangan bahan baku pakan harus tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kuantitas produksi pakan yang ingin dihasilkan.
Setelah penimbangan, proses dilanjutkan dengan pencampuran bahan baku pakan menjadi suatu adonan pakan yang homogen sebelum dilakukan tahapan pencetakan pakan (pelleting). Pencampuran pakan terlebih dahulu dimulai dari pencampuran bahan berbentuk tepung dari yang jumlahnya lebih sedikit dicampurkan dengan yang lebih banyak dan seterusnya. Jumlah bahan baku pakan yang sedikit dicampurkan dengan bahan baku tepung yang jumlahnya lebih banyak diaduk merata hingga homogen. Setelah bahan baku pakan berbentuk tepung tercampur rata dan homogen selanjutnya ditambahkan dengan bahan baku pakan yang berbentuk minyak (oil). Bila pencampuran tersebut masih buyar atau tidak kalis maka dapat ditambahkan dengan air sedikit demi sedikit. Adonan yang telah tercampur rata, homogen dan kalis, selanjutnya diproses menjadi pellet dalam alat penggiling atau pencetak pellet. Ukuran pellet yang diinginkan menjadi dasar dalam menyiapkan dan menggunakan ukuran lubang keluarnya pellet (pellet hole). Ukuran pellet hole ini menyesuaikan kebutuhan atau ukuran ikan yang akan diberikan pakan. Bila menggunakan mesin pencetak pellet yang sederhana, pellet yang keluar dari pellet hole sebaiknya dijejerkan atau ditempatkan dalam wadah yang lebar seperti tampah (Gambar 13). Pellet ini kemudan disebar dan diatur posisinya agar tidak menumpuk sehingga pellet tidak menempel satu sama lain. Pellet yang tersebar rata juga akan mempercepat proses pengeringan dan memudahkan proses selanjutnya.
Proses selanjutnya adalah pengeringan pellet atau pakan. Pengeringan dapat dilakukan dalam oven pada suhu 60⁰C untuk mempercepat proses, menggunakan spray dryer atau alat pengering semprot (Gambar 14) atau pengeringan manual menggunakan cahaya matahari atau diangin-anginkan.
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, PENGKAJIAN, PENGEMBANGAN, PENERAPANDAN WILAYAH/DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Kegiatan penelitian formulasi pakan untuk meningkatkan kualitas warna ikan Koi telah dilakukan dalam skala laboratorium pada tahun 2012 dan mendapatkan hasil yang signifikan dalam pertumbuhan, sintasan dan kualitas warna untuk ikan Koi strain Kohaku. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan penerapan teknologi formulasi pakan ikan Koi strain Kohaku tersebut pada sentra produksi di Blitar pada tahun 2013 dengan beberapa lokasi budidaya milik masyarakat pembudidaya ikan Koi. Hasil yang baik dan menggembirakan juga didapatkan di sentra produksi ini.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Dari hasil kegiatan yang dilaksanakan dalam skala laboratorium hingga skala lapang di sentra produksi, tidak ditemukan dampak negatif yang dihasilkan. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Pakan ini merupakan pakan formulasi yang lebih baik dibandingkan pakan komersial Koi yang telah ada dimana pertumbuhan sama baiknya namun kualitas warna yang dihasilkan jauh lebih baik. Selisih harga pakan Balai (Pakan AWKoi) dengan pakan Koi komersial sebesar Rp. 33.000,/kg (Tabel
1). Pakan AWKoi sangat adatif dan kompetitif di tingkat pembudidaya hingga penggemar ikan hias Koi. Pakan ini juga memiliki nilai ekonomis jika dibandingkan dengan pakan ikan konsumsi sebagaimana analisis usaha di bawah ini. Pada Benih Ukuran 12-15 cm di Kelompok Pembudidaya Koi Mina Brawijaya
 Ukuran Benih Awal 25 g
 Konsumsi Pakan 5% per hari (1,6 g/ekor/hari)
 Masa Pemeliharaan 1 Bulan
 Total Konsumsi Pakan = 48 gram/ekor (1,6 g x 300 hari)
 Biaya Pakan Per ekor ikan :
- Pakan Ikan Konsumsi Rp. 10.000 x 48 g/1.000g = Rp. 480,- /ekor = Rp. 480.000,- /1.000 ekor
- Pakan Koi Komersial =Rp. 50.000 x 48 g/1.000g = Rp. 2400,- /ekor = Rp. 2.400.000,- /1.000 ekor
- Pakan Balai (AWkoi) = Rp. 17.000 x 48 g/1.000g = Rp. 816,- /ekor = Rp. 816.000,- /1.000 ekor
 Harga jual ikan pada saat panen - Pakan Ikan konsumsi
 Grade I dan II = 27% x Rp. 8.500,- x 1.000 ekor = Rp. 2.295.000,-  Grade III dan IV = 73% x Rp. 6.500,- x 1.000 ekor = Rp. 4.745.000,-
 Total Rp. 7.040.000,- o Pakan Balai (AWkoi)  Grade I dan II = 73% x Rp. 8.500,- x 1.000 ekor = Rp.6.205.000,-
 Grade III dan IV = 27% x Rp. 6.500,- x 1.000 ekor = Rp. 1.755.000,- • Total Rp. 7.960.000,-
 Keuntungan Menggunakan Pakan Balai
- Selisih Harga Jual – Selisih Harga Pakan
- (Rp. 7.960.000 - Rp. 7.040.000) – (Rp. 816.000 - Rp. 480.000) = Rp. 584.000,- /1.000 ekor
Pada Benih Ukuran 40 cm di Kelompok Pembudidaya Beringin Koi Club Pokdakan Beringin Koi Club melakukan pemeliharaan ikan pada kolam tanah, dengan populasi 300 ekor yang telah terseleksi pola warnanya. Pada saat akan dipanen ikan didiberi harga penawaran sebesar Rp. 80.000,- /ekor (Rp. 24.000.000,-).Dengan menambah masa pemeliharaan selama 20 hari, menggunakan pakan AWkoi harga penawaran meningkat menjadi Rp. 100.000,/ekor (Rp. 30.000.000,-) . Penambahan
biaya pakan selama kurun waktu tersebut adalah Rp. 1.700.000,- (100 kg pakan AWkoi). Hal ini mengindikasikan bahwa selisih kenaikan harga dibandingkan dengan biaya pakan yang dikeluarkan adalah Rp. 4.300.000,- . Hasil ini merupakan nilai profit yang sangat signifikan.

SUMBER: Subarmia I. W., Meilisza N., Sukarman, Subandiyah S., Hirnawati R., dan Murniasih S., 2014. Teknologi Pakan Formulasi Untuk Peningkatan Kualitas Warna Ikan Koi Strain Kohaku. Buku Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Kamis, 14 Maret 2019

Vaksin DNA untuk pencegahan KHV pada Budidaya Ikan Mas dan Koi

Koi Herpes Virus (KHV), merupakan penyakit virus yang dikenal ganas, serangannya mampu mematikan ikan mas dan koi secara massal (lebih 80% dari populasi) (Hedrick et al. 2000; Perelberg et al. 2003; Sunarto et al. 2005). Hingga saat ini kasus serangan KHV masih merupakan kendala dalam kegiatan budidaya ikan mas dan koi. Kasus infeksi KHV di lingkungan budidaya dipicu oleh penurunan suhu perairan dan keberadaan individu ikan mas carrier(pembawa KHV) di lingkungan tersebut; Sehingga kematian massal ikan mas karena serangan KHV, umumnya berulang setiap tahun, terjadi seiring dengan penurunan suhu perairan hingga mencapai kisaran suhu yang bersifat permissive KHV (23-27 0C).
Secara medis, infeksi KHV sangat sulit dikendalikan dengan menggunakan obat/bahan kimia; Upaya yang paling mungkin dilakukan adalah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh ikan, baik non-spesifik secara imunostimulasi (Sakai, 1999) maupun kekebalan spesifik secara vaksinasi (Perelberg et al., 2005). Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen ke dalam tubuh ikan untuk memicu sistem pertahanan tubuh secara spesifik. Dalam perkembangannya, terdapat empat jenis vaksin yaitu: vaksin yang dimatikan (killed vaccine), vaksin yang dilemahkan (attenuated vaccine), vaksin protein rekombinan dan vaksin DNA.
Upaya penyediaan vaksin secara konvensional dengan cara mematikan pathogen yang berasal dari inang/ikan yang terserang dikenal dengan istilah autovaksin (killed vaccine) telah dikembangkan di BBPBAT sukabumi pada tahun 2007, 2008 dan 2009. Tidak Stabilnya kandungan bahan immunogenic pada insang sebagai sumber virus, masih menjadi kendala yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi secara konvensional. Selain vaksin konvensional yang dikembangkan BBPBAT Sukabumi, pada tahun 2010 juga telah teregister vaksin anti KHV komersial dan telah dilakukan uji efikasinya pada skala laboratorium di BBPBAT Sukabumi. Hasil uji skala laboratorium menunjukkan hasil yang baik dengan sintasan 85-90% setelah diuji tantang. Namun demikian pada saat dilaksanakan uji lapang di pembudidaya di daerah Subang dan Garut, hasilnya tidak efektif dan terjadi kematian masal pada ikan setelah satu minggu divaksin. SOP penggunaan vaksin komersial ini terlalu rumit sehingga menyebabkan sulitnya penerapan vaksinasi pada pembudidaya.
Mengingat masih rendahnya keberhasilan vaksinasi secara konvensional maka perlu dilakukan perbaikan vaksin anti KHV, salah satunya melalui pengembangan vaksin DNA KHV. Vaksin DNA merupakan terobosan teknik eksperimental untuk melindungi organisme melawan penyakit dengan cara menginjeksikan DNA murni (naked DNA) untuk membangkitkan respon imunologi. Vaksin tersebut merupakan hasil rekayasa genetika dimana sekuen gen virus yang bersifat imunogenik disisipkan ke dalam plasmid; Plasmid tersebut kemudian ditransformasi dan dipropagasi dalam sejumlah bakteri E.coli; Produk isolasi plasmid dari kultur E.coli tersebut selanjutnya digunakan sebagai vaksin (Sri Nuryati, 2009).
Pengembangan vaksin DNA anti KHV telah dirintis oleh Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan BBPBAT Sukabumi, sejak tahun 2008-hingga saat ini. Vaksin DNA KHV diisolasi dari isolat virus KHV lokal (dalam negeri) sehingga vaksin ini memiliki kesesuaian antibodi dengan antigen yang cukup tinggi. Kesesuaian ini merupakan syarat penting untuk mencapai keberhasilan vaksinasi. Selain itu, vaksin DNA berbeda dengan jasad renik konvesional yang dapat mengalami kegagalan vaksinasi akibat kegagalan proses non-aktivasi virulensi dari patogen.
Isolat bakteri yang telah disisipi DNA glikoprotein virus KHV (Gp-25) berasal dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan dikultur/diperbanyak di laboratorium kesehatan ikan BBPBAT Sukabumi pada ruang khusus produksi vaksin. Vaksin DNA KHV diproduksi dalam 2 (dua) bentuk sediaan yaitu sediaan bakteri dan plasmid. Vaksin sediaan bakteri diaplikasikan melalui metode perendaman dan vaksin sediaan plasmid diaplikasikan melalui metode suntik pada ikan.
KEUNGGULAN
Beberapa keunggulan vaksin DNA KHV adalah:
1. Bersifat generik dan sederhana.
2. Aman dan tidak menimbulkan resiko terinfeksi penyakit.
3. Kombinasi keuntungan dari vaksin tradisional (inactivated vaccine) dan yang dilemahkan (attenuated vaccine).
4. Dapat mencapai keberhasilan tujuan vaksinasi ketika vaksinasi konvensional gagal.
5. Memungkinkan untuk diberikan bersama ajuvan molekular misalnya motif CpG.
6. Mengaktifkan baik sistem kekebalan humoral maupun seluler.
7. Memungkinkan vaksinasi multivalen yaitu dengan mencampur vaksin DNA untuk lebih dari satu jenis penyakit melalui vaksinasi yang dilakukan secara bersamaan.
8. Memberikan proteksi yang baik apabila diberikan pada stadia awal.
9. Proteksi dapat diinduksi dalam waktu singkat dan memberikan efek proteksi dalam jangka waktu lama.
10. Dapat memberikan proteksi baik dalam suhu rendah maupun tinggi.
11. Dapat memberikan proteksi pada heterologous strain pathogen.
12. Produk murni memiliki stabilitas yang tinggi.
13. Vaksin DNA KHV ini juga diisolasi dari isolate virus KHV local (dalam negeri) sehingga vaksin ini memiliki kehomologan antibodi dengan antigen yang cukup tinggi. Kehomologan ini merupakan syarat penting untuk mencapai keberhasilan vaksinasi.
MUDAH DITERAPKAN DALAM SISTEM USAHA
Aplikasi vaksin DNA KHV mudah diterapkan karena bentuknya sudah dikemas baik dalam bentuk sediaan bakteri (bentuk kering) yang bisa disimpan dalam refrigerator maupun plasmid (penyimpanan memerlukan suhu -20oC). Sedangkan aplikasinya bisa melalui 2 metode vaksinasi yaitu metode perendaman dan injeksi.
RAMAH LINGKUNGAN
Vaksin DNA KHV merupakan produk ramah lingkungan. Vaksin DNA KHV merupakan fragmen gen glikoprotein KHV yang tidak bersifat patogen dan menstimulasi respons kekebalan tubuh ikan mas dan ikan koi terhadap serangan KHV. Vaksin DNA berupa plasmid yang diinjeksikan ke ikan terbukti tidak mengalami integrasi dengan DNA genom (Kanellos et al. 1999). Selain itu vaksin DNA KHV juga tidak dapat diisolasi kembali dari ekskreta ikan yang telah diberi. Secara genetik vaksin DNA KHV tidak dapat bertahan di lingkungan, karena bentuknya sebagai plasmid DNA (naked DNA) akan mengalami lisis dalam tubuh ikan.
Dalam penelitian pencampuran vaksin DNA dalam bentuk plasmid dengan bakteri flora normal yang diisolasi dari lingkungan budidaya ikan mas di IPB, didapatkan hasil bahwa tidak terjadi up take vaksin DNA oleh bakteri flora normal (Julianingtyas et al., 2013). Penelitian yang dilakukan secara in vitro ini menjadi petunjuk bahwa tidak ada interaksi antara bakteri flora normal dalam lingkungan akuakultur dengan vaksin DNA dalam bentuk plasmid, dengan kata lain vaksin DNA anti-KHV ini aman bagi lingkungan akuakultur. Bakteri E. coli pembawa vaksin DNA KHV dimatikan sebelum diberikan ke ikan. Oleh karena itu, bakteri ini tidak akan bertahan lama dalam perairan sehingga tetap aman bagi biota air dan lingkungan perairan.
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, PENGKAJIAN, PENGEMBANGAN, PENERAPAN DAN WILAYAH/DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
1. Waktu dan lokasi penelitian, pengkajian, pengembangan, penerapan dilakukan Kegiatan ini dilaksanakan dari tahun 2010-2013. Lokasi penelitian, pengkajian pengembangan dan penerapan vaksin dilakukan di Laboratorium Kesehatan ikan, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Pengujian vaksin DNA KHV dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT), Jln. Selabintana no.37, Sukabumi, Jawa Barat.
2. Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi Lokasi wilayah untuk penerapan teknologi vaksin DNA KHV bisa dilakukan dimana saja.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Vaksin DNA KHV tidak menimbulkan dampak negatif baik bagi ikan, lingkungan maupun manusia. Penggunaan vaksin DNA KHV tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan bahaya lainnya.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA BIAYA
Analisa biaya vaksin DNA glikoprotein KHV (DNA Gp-KHV) dalam bentuk sediaan pellet bakteri dan sediaan plasmid adalah sebagai berikut:
a. Analisa biaya vaksin DNA Gp-KHV bentuk sediaan pellet bakteri
 Kalkulasi penggunaan bahan-bahan, jumlah serta biaya yang dibutuhkan untuk satu siklus produksi vaksin pada tabel 2:
Tabel 2. Biaya bahan yang digunakan untuk satu siklus produksi vaksin dengan volume kultur 2.000 ml.
 Biaya pellet bakteri yang digunakan untuk bahan vaksin - Hasil Pellet 1 kali produksi sebanyak 24 gram; - Biaya pelet bakteri Rp. 158.000,- per 24 gram = Rp 6.583,- per gram - Keperluan pellet bakteri untuk pembuatan vaksin bentuk suspensi pellet bakteri (konsentrasi 108 CFU ) sebanyak 50 liter adalah 0,5 gram pellet bakteri; Biaya dalam rupiah = 0,5 gr x Rp 6.583,- = Rp. 3.291,-
 Biaya per dosis vaksin sediaan bakteri - Volume suspensi perendaman vaksin 50 liter dengan kebutuhan pellet bakteri Gp-KHV 0,5 gram - Benih ikan yang direndam 5 ekor/liter (ukuran ikan 8-10 cm); 250 ekor dalam 50 liter rendaman suspensi bakteri - Biaya vaksin : Rp 3.291/250 = Rp 13,2 /ekor
 Analisa biaya vaksin DNA Gp-KHV sediaan plasmid : (i) Biaya bahan : - Dibutuhkan 0,5 gram pellet bakteri untuk 1prep/tabung isolasi plasmid; biaya dalam rupiah (sesuai butir A) : 0,5 x Rp 6.583 = Rp 3.291,- (ii) Biaya prep/tabung isolasi plasmid & plasmid yang dihasilkan - Harga kit yang digunakan untuk isolasi plasmid 1 box (isi 20 prep) = Rp. 2.141.000,- - Biaya 1 prep (tabung isolasi plasmid) : Rp. 2.141.000/20 prep = Rp. 107.050,- - Vaksin plasmid yang dihasilkan dari 1 prep = 300 dosis (iii) Biaya vaksin bentuk plasmid : (i) + (ii) = Rp. 110.341,- (iv) Biaya vaksin bentuk plasmid per 1 dosis = Rp. 110.341/300= Rp. 368,-
b. Analisa biaya vaksin attenuated komersial. Berdasarkan hasil analisa biaya vaksin attenuated komersial yang telah beredar saat ini adalah Rp. 300/dosis/ekor.
c. Perbandingan biaya vaksin attenuated komersial dengan vaksin DNA Gp-KHV Berdasarkan penjelasan pada butir a, b dan c, pada Tabel 3 ditampilkan perbandingan biaya/dosis untuk vaksin attenuated komersial yang telah beredar dan vaksin DNA Gp-KHV. Tabel 3. Perbandingan biaya vaksin/dosis (Rp), antara vaksin attenuated komersial dengan vaksin DNA Gp-KHV

SUMBER:
Nuryati S., Alimuddin, Santika A., Ciptoroso, Mawardi M., dan Hanif S., 2014. Aplikasi Vaksin DNAGlycoprotein Untuk Pencegahan Koi Herpes Virus (KHV) pada Budidaya Ikan Koi dan Mas. Buku Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Senin, 11 Maret 2019

Keunggulan strain unggul ikan lele MUTIARA

TUJUAN DAN MANFAAT PENERAPAN TEKNOLOGI
Rekomendasi teknologi ini bertujuan untuk memberikan bahan panduan kepada penyuluh tentang upaya peningkatan produktivitas usaha pembesaran ikan lele melalui penggunaan strain unggul ikan lele MUTIARA. Melalui penggunaan strain unggul ikan lele MUTIARA dalam kegiatan/usaha pembesaran ikan lele diharapkan produktivitas hasil panennya dapat ditingkatkan. Peningkatan produktivitas hasil pembesaran ikan lele tersebut secara langsung berdampak pada peningkatan keuntungan usaha dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan pembudidaya.
PENGERTIAN/ISTILAH/DEFINISI
Ikan lele MUTIARA adalah strain unggul hasil pemuliaan di Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi. Ikan memiliki keunggulan performa budidaya relatif lengkap, antara lain dalam hal pertumbuhan, efisiensi pakan, keseragaman ukuran, toleransi terhadap penyakit, tahan terhadap perubahan lingkungan, tidak mudah stress serta kualitas dan ratio daging lebih baik . Ikan lele MUTIARA tersebut telah dirilis sebagai strain unggul berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 77/KEPMEN-KP/2015. Ikan lele MUTIARA ini adalah populasi generasi ketiga hasil seleksi individu yang peningkatan pertumbuhan kumulatif sebesar 52,64% dari populasi awal.
URAIAN CAKUPAN TEKNOLOGI YANG TERDIRI DARI KOMPONEN-KOMPONEN TEKNOLOGINYA
Teknologi pembesaran ikan lele menggunakan strain unggul MUTIARA terdiri dari serangkaian beberapa tahap kegiatan, mulai dari penyiapan kolam/bak, penebaran benih, manajemen pemberian pakan, manajemen kualitas air dan pemanenan.
CARA PENERAPAN TEKNOLOGI YANG DIURUT MULAI PERSIAPAN SAMPAI APLIKASI
Penyiapan Kolam/Bak
 Pembasmian hama berupa ikan predator (misalnya ikan gabus) atau sisa ikan lele lain dalam kolam/bak jika memungkinkan dilakukan dengan pengeringan kolam/ bak. Jika pengeringan tidak memungkinkan, pembasmian hama dilakukan dengan menggunakan 20-30 g/m2 saponin pada ketinggian air sekitar 10-20 cm.
 Pada kolam tanah di daerah yang kondisi tanahnya yang bersifat masam perlu dilakukan pengapuran untuk mengurangi keasaman tanah sekaligus sebagai desinfeksi patogen dengan menggunakan kapur pertanian dengan dosis 50-100 g/m2.
 Pengisian air kolam/bak sebaiknya menggunakan air sungai/irigasi untuk menumbuhkan plankton, atau dapat juga dilakukan dengan menggunakan sebagian air kolam/bak pembesaran lama yang telah subur (berwarna kehijauan) sebagai inokulan (bibit). Ketinggian air awal sekitar 30-50 cm, didiamkan selama sekitar 5-7 hari hingga air berwarna kehijauan. Jika tingkat kecerahan air media pemeliharaan lebih dari 20 cm perlu dilakukan pemupukan untuk menyuburkan air media pemeliharaan dengan pupuk organik 200-300 g/m2 atau pupuk cair komersial dengan dosis sesuai anjuran atau pupuk kompos 50-100 g/m2. Bila dipupuk dengan pupuk anorganik bisa digunakan pupuk urea 6 g/m2 dan TSP 3 g/m2.
 Pengisian air kolam/bak melalui saluran pemasukan (inlet) perlu dilengkapi dengan saringan halus untuk mencegah ikan-ikan predator terbawa masuk ke dalam kolam/bak.
Penebaran Benih
 Benih ikan lele MUTIARA yang digunakan memiliki umur dan ukuran yang sama serta dalam kondisi yang sehat dan tidak cacat, berukuran panjang 5-7 cm atau 7-9 cm.
 Penebaran benih dilakukan ketika air kolam/bak pembesaran telah subur, ditandai dengan warnanya yang telah menjadi kehijauan.
 Penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari, ketika suhu udara tidak terlalu tinggi dan suhu air dalam kolam/bak pembesaran tidak lebih dari 30oC.
 Sebelumnya perlu dilakukan aklimatisasi untuk transportasi jarak jauh atau untuk benih yang berasal dari daerah dengan kondisi cuaca yang relatif berbeda.
 Padat tebar yang digunakan berkisar 100-300 ekor/m2, dengan ketinggian air awal sekitar 50 cm.
 Setelah 1-2 jam penebaran benih, pakan diberikan secukupnya sedikit demi sedikit sesuai dengan respon benih terhadap pakan yang diberikan.
Manajemen Pemberian Pakan
 Pakan yang digunakan yaitu pakan yang biasa (umum) digunakan para pembudidaya ikan lele di Indonesia seperti pakan buatan komersial berbentuk pelet apung berkadar protein sekitar 30%, dengan ukuran butiran sekitar 2 mm untuk 5-7 hari awal pemeliharaan. Kemudian secara bertahap pakan diganti dengan ukuran butiran sekitar 3 mm hingga pemanenan.
 Pakan diberikan dua kali sehari, pada pagi dan sore hari. Waktu (jam) pemberian pakan harus konsisten, tidak berubah-ubah.
 Pakan diberikan secara ad libitum (sedikit demi sedikit sampai kenyang) dalam jumlah yang tepat sesuai dengan tingkat nafsu makan benih.
Pakan diberikan tidak berlebihan menjadi tersisa akibat tidak termakan semuanya atau diberikan terlalu sedikit.
 Sampling pengukuran bobot ikan dilakukan setiap 10 hari untuk mengetahui pertumbuhan dan menentukan penyesuaian jumlah pakan harian yang diberikan (sebagai acuan/panduan).
 Sebagai panduan, jumlah pakan harian yang diberikan (FR = feeding rate) sekitar 9% dari bobot seluruh ikan (biomassa) pada awal tebar kemudian menurun sekitar 2% setiap 10 hari hingga menjadi 2% pada saat menjelang pemanenan (9% pada 10 hari pertama, 7% pada 10 hari kedua, 5% pada 10 hari ketiga, 3% pada 10 hari keempat dan 2% pada 10 hari kelima hingga pemanenan).
 Sampling dilakukan dengan mengambil secara acak beberapa ekor ikan (sebelum diberi pakan) kemudian ditimbang dan dihitung jumlahnya, untuk mengetahui bobot rata-rata ikan. Berdasarkan data jumlah ikan yang mati setiap 10 hari, maka jumlah keseluruhan ikan yang hidup ada pada waktu tersebut dapat diketahui (diperkirakan), sehingga acuan jumlah kebutuhan pakan harian untuk 10 hari berikutnya dapat dihitung sesuai dengan feeding rate pada umur (waktu pembesaran) tersebut. Pada saat sampling perlu diperhatikan juga kondisi kesehatan dan variasi ukurannya.
 Hasil perhitungan jumlah pakan harian berdasarkan feeding rate hanya digunakan sebagai panduan/acuan batas maksimum jumlah pakan harian yang dapat diberikan kepada benih (tidak boleh melebihi), karena pakan tetap diberikan secara ad libitum, disesuaikan dengan respon (tingkat nafsu makan) benih. Jika terjadi adanya gangguan, hujan, perubahan cuaca, perubahan kualitas air, dan lain-lain yang menyebabkan respon benih terhadap nafsu makan menurun, maka jumlah pakan yang diberikan juga harus dikurangi.
 Selama dan setelah pemberian pakan, benih tidak boleh mengalami gangguan fisik maupun mekanis. Jika sedang ada gangguan sebaiknya pemberian pakan dikurangi sedikit (sekitar 20-25%).
 Selama pemeliharaan (pembesaran) dilakukan pencatatan jumlah ikan yang mati (jika ada).
Manajemen Kualitas Air
 Kualitas air kolam/bak pembesaran dijaga dengan menerapkan pemberian pakan secara tepat (tidak berlebihan, disesuaikan dengan tingkat nafsu makan benih).
 Ketinggian air kolam/bak pembesaran pada saat awal penebaran benih cukup sekitar 50-60 cm, kemudian ketinggiannya dinaikkan secara bertahap sekitar 10 cm setiap minggunya hingga mencapai ketinggian sekitar 100 cm.
 Suhu air kolam/bak dijaga agar tidak melebihi 35oC.
 Jika kualitas air media pemeliharaan mengalami perubahan yang ekstrim akibat terlalu menumpuknya limbah organik, ditandai dengan warna air yang kehitaman, terciumnya bau yang tidak sedap (amoniak) dan tingkah laku ikan yang gerakan berenangnya mulai terlihat malas-malasan (kurang aktif) atau terlihat lemah (tidak lincah), maka perlu dilakukan penggantian sebagian (minimum sebanyak 25%) air media pemeliharaan dengan air baru serta sebaiknya ditambahkan garam krosok yang terlebih dahulu dilarutkan dalam air dengan dosis sekitar 1-2 kg/m3 air media pemeliharaan. Pakan yang diberikan untuk sementara waktu 25% dikurangi hingga 25% dari jumlah kebutuhan pakan hariannya sampai kondisi kualitas air kembali membaik, ditandai dengan pergerakan ikan yang kembali lincah dan respon pakan yang kembali meningkat.
Pemanenan
 Selama masa pembesaran benih ikan lele MUTIARA tidak perlu dilakukan penyortiran. Penyortiran hanya dilakukan bersamaan dengan saat pemanenan. − Pemanenan benih ikan lele MUTIARA dilakukan ketika hasil sampling menunjukkan bahwa secara dominan (lebih dari 60%) benih telah mencapai ukuran (size) 6-10 ekor/kg atau berbobot sekitar 100-150 g/ekor atau sesuai dengan permintaan pasar (konsumen).
 Sebelum dilakukan pemanenan terlebih dahulu disiapkan wadah penampungan ikan-ikan hasil panen berupa waring yang dipasang dalam kolam/bak yang terpisah.
 Pemanenan dilakukan beberapa kali dengan jaring eret hingga ikan yang tidak terjaring diperkirakan hanya tersisa sedikit (kurang dari 20%).
 Sisa ikan-ikan yang tidak terjaring dipanen dengan menyurutkan dan mengeringkan air kolam/bak pembesaran, dan ditangkap menggunakan seser.
 Selanjutnya dilakukan penyortiran ukuran secara manual atau menggunakan alat sortir terhadap ikan-ikan hasil panen. Normalnya, proporsi kelompok ukuran konsumsi (ukuran daging, table-size) ikan lele MUTIARA hasil pembesaran berkisar 70-80%, dengan kelompok ikan berukuran kecil (undersize) berkisar 20-25%, sedangkan kelompok ikan berukuran besar (oversize) kurang dari 10%.
 Ikan-ikan yang berukuran kecil (undersize) dapat dipelihara lebih lanjut dan umumnya dapat dipanen seluruhnya setelah 2-4 minggu.
Secara ringkas, keunggulan performa ikan lele MUTIARA adalah sebagai berikut:
a. Laju pertumbuhan tinggi: 10-40% lebih tinggi daripada benih-benih strain lain.
b. Lama pemeliharaan singkat: lama pembesaran benih tebar berukuran 5-7 cm atau 7-9 cm dengan padat tebar 100 ekor/m2 berkisar 40-50 hari, sedangkan pada padat tebar 200-300 ekor/m2 berkisar 60-80 hari.
c. Keseragaman ukuran relatif tinggi: pemanenan pertama pada pembesaran tanpa sortir diperoleh ikan lele ukuran konsumsi sebanyak 70-80%.
d. Rasio konversi pakan (FCR) relatif rendah: 0,8-1,0 dengan menggunakan pelet apung komersial berkadar protein 30-33%. − Daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi: SR 60-70% pada infeksi bakteri Aeromonas hydrophila (tanpa antibiotik), SR 70% pada uji tantang infeksi 108 CFU/mL bakteri Aeromonas hydrophila selama 60 jam.
e. Toleransi lingkungan relatif tinggi: suhu 15-35oC, pH 5-10, amoniak <3 mg/L, nitrit < 0,3 mg/L, salinitas 0-10 ‰. − Toleransi terhadap stres relatif tinggi (kadar hormon kortisol pasca pemberian stressor lebih rendah daripada benih lain).
f. Produktivitas relatif tinggi: produktivitas tahap pembesaran 20-70% lebih tinggi daripada benih-benih lain.
g. B/C Ratio tahap pembesaran 150-700% lebih tinggi daripada benih-benih lain.
h. Proporsi daging (edible portion) relatif tinggi.
SUMBER:
Iswanto B., Imron., Huria M., Suprapto R., Syawalia R.N., Suwargono P., Febriana P., Ilmalizanri, Didi, Suryana A, Suri A.S., Tarmo, 2015. Peningkatan Produktivitas Pembesaran Lele Melaui Penggunaan Strain Unggul Mutiara. Buku Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2015. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Kamis, 07 Maret 2019

KEUNGGULAN IKAN GURAMI BATANGHARI

Guna lebih memperkaya jenis dan varietas Ikan Gurami yang beredar di masyarakat, telah dihasilkan benih sebar Ikan Gurami Batanghari yang merupakan hasil domestikasi yang dilakukan oleh Balai Budidaya Air Tawar Jambi, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Dalam rangka dalam rangka menunjang peningkatan produksi ikan nasional, pendapatan, dan kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas Ikan Gurami Batanghari. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan 19/KEPMEN-KP/2015 tentang PELEPASAN IKAN GURAMI BATANGHARI.
Sumber:
http://jdih.kkp.go.id/

Senin, 04 Maret 2019

KEUNGGULAN IKAN NILA SALINA

Guna lebih memperkaya jenis dan varietas Ikan Nila yang beredar di masyarakat, telah dihasilkan Ikan Nila Salina sebagai jenis ikan baru.
Dalam rangka menunjang peningkatan produksi perikanan budidaya serta peningkatan produksi, pendapatan, dan kesejahteraan pembudidaya ikan, perlu melepas dan menyebarluaskan Ikan Nila Salina. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan 22/KEPMEN-KP/2014 tentang PELEPASAN IKAN NILA SALINA.
Jenis ikan tersebut adalah Ikan Nila SALINA  (Saline Indonesian Tilapia), yang  merupakan  inovasi teknologi para perekayasa dan peneliti  BPPT yang telah lulus sidang uji varietas baru komoditas perikanan pada tanggal 2 Juli 2013 dan telah siap diproduksi massal. “Selain untuk mengatasi dampak global warming, pengembangan Ikan Nila SALINA juga penting untuk mendukung ketahanan pangan nasional, serta mengoptimalkan pemanfaatan lahan tambak marjinal (idle) dimana luasnya  mencapai 30-40 % dari 1,2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia,” jelas Marzan.
Keunggulan Nila SALINA ini, sebut Marzan adalah dapat hidup dan berkembang-biak pada salinitas tinggi antara 20-25 ppt dan akan dikembangkan menjadi ikan nila laut (Marine Tilapia) yang mampu bereproduksi di perairan dengan salinitas sampai dengan 32 ppt. Hal ini tentu sangat menarik jika dibandingkan dengan salinitas perairan tawar yang biasanya berkisar antara 0–5 ppt  “Ikan nila SALINA ini juga memiliki feed convertion ratio (FCR) rendah dengan warna dominan merah. Ikan nila SALINA diharapkan dapat dikembangkan untuk mendukung program ketahanan pangan, khususnya pangan berbasis protein hewani, melalui peningkatan produktivitas dan industrialisasi komoditas perikanan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pembudidaya ikan. Oleh karenanya dibutuhkan kerjasama dengan pihak lain untuk meningkatkan pemanfaatan dan komersialisasi jenis ikan ini,” tuturnya.
Menyambung pernyataan Kepala BPPT,  Direktur Jenderal Perikanan Budidaya- KKP, Slamet Soebjakto  juga menyampaikan pentingnya sinergi dan kerjasama untuk mengembangkan sektor perikanan budidaya ini. “Kerjasama yang dijalin antara DJPB dan BPPT ini sudah dilakukan sejak tahun 2007. Mulai dari Breeding Program Kerapu, Pembuatan Vaksin Kerapu sampai dengan sekarang ini yaitu Pengembangan Ikan Nila Salin. Disamping  itu, BPPT adalah pembina dari perekayasa-perekayasa yang berada di semua Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup DJPB, sehingga saya yakin kerjasama ini akan terus menghasilkan teknologi-teknologi terapan di bidang perikanan budidaya yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat,” urainya.
Lebih lanjut Slamet menandaskan bahwa perikanan nasional khususnya perikanan budidaya menjadi andalan ketahanan pangan nasional maupun dunia, memang benar adanya. Perubahan musim, cuaca yang tidak mendukung, menjadikan nelayan terkendala untuk melaut sehingga menurunkan produktivitas perikanan tangkap. “Perikanan budidaya justru sebaliknya, produktivitasnya bisa dikelola sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan financial, sehingga dapat menjadi andalan ketahanan pangan serta diekspor untuk cadangan devisa negara,” ungkapnya.
 Kebijakan industrialisasi perikanan budidaya berbasis ekonomi biru yang digulirkan oleh KKP dan diikuti dengan program kebijakan lain seperti pola maupun skema budidaya yang lebih sistematis, diharapkan dapat terus meningkatkan ketertarikan sektor perbankan maupun investor untuk membantu permodalan bagi pembudidaya. “Pengembangan teknologi juga diharapkan dapat mendorong budidaya perikanan nasional semakin berkelas dan berkualitas tinggi. “Intinya adalah bahwa perikanan budidaya sudah siap menghadapi tantangan tahun 2014 dan tantangan pasar bebas ASEAN tahun 2015 nanti,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara BPPT dan KKP tentang Pengkajian, Penerapan Dan Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan tersebut dilaksanakan oleh Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB), Listyani Wijayanti dan dilanjutkan dengan penandatanganan Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan (PPK) antara Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian (PTPP BPPT), Nenie Yustiningsih dengan Kepala Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB-KKP) Karawang, Supriyadi, tentang Pengkajian, Penerapan dan Pengembangan Teknologi Budidaya Ikan Nila SALINA (Saline Indonesian Tilapia).
Sumber:
http://jdih.kkp.go.id/
https://www.bppt.go.id/teknologi-agroindustri-dan-bioteknologi/1866-dengan-teknologi-ikan-nila-dapat-hidup-di-air-asin