2.1 Biologi Ikan Nila
2.1.1 Klasifikasi Ikan Nila
Klasifikasi ikan nila berdasarkan Suyanto (2003) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphi
Sub-ordo : Percoidea
Family : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus.
Ikan nila (Oreochromis niloticus) pada awalnya dimasukkan ke dalam jenis
Tilapia nilotica atau ikan dari golongan tilapia yang mengerami telur dan larva di
dalam mulutnya. Pada tahun 1982 nama ilmiah ikan nila menjadi Oreochromis
niloticus. Perubahan nama tersebut telah disepakati dan dipergunakan oleh
ilmuan meskipun dikalangan awam tetap disebut Tilapia niloticus (Khairuman
dan Amri, 2008).
2.1.2 Morfologi Ikan Nila
Ikan nila memiliki bentuk tubuh pipih memanjang ke samping, makin ke
perut makin terang. Mempunyai garis vertikal 9-11 buah berwarna hijau
kebiruan. Pada sirip ekor terdapat 6-12 garis melintang yang ujungnya berwarna
kemerah-merahan, sedangkan punggungnya terdapat garis-garis miring. Mata
tampak menonjol agak besar dengan bagian tepi berwarna hijau kebiru-biruan.
Letak mulut ikan nila terminal, posisi sirip perut terhadap sirip dada thorochis,
garis susuk (linea lateralis) terputus menjadi dua bagian. Jumlah sisik pada garis
rusuk 34 buah dan tipe sisik stenoid (ctenoid). Bentuk sirip ekor berpinggiran
tegak (Kordi, 1997). Morfologi ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Jenis kelamin ikan nila yang masih kecil, belum dapat dilihat dengan jelas
apakah jantan atau betina. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot
badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4 - 5 bulan yang beratnya
telah mencapai 100-150 gram sudah mulai kawin dan bertelur (Suyanto, 2003).
2.1.3 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Nila
Ikan nila mempunyai habitat di perairan tawar, seperti sungai, danau,
waduk dan rawa. Tetapi karena toleransinya yang tinggi terhadap salinitas, maka
ikan dapat hidup dan berkembang biak di perairan payau dan laut. Salinitas yang
disukai antara 0 - 35 ppt. Ikan nila yang masih kecil lebih tahan terhadap
perubahan lingkungan dibanding dengan ikan yang sudah besar (Suyanto, 2003).
Menurut Panggabean (2009), kualitas air yang sesuai dengan habitat ikan
nila adalah pH optimal antara 7 - 8, suhu optimal antara 25 - 30oC, dan salinitas
0 - 35 ppt, amoniak antara 0 - 2,4 ppm, dan DO berkisar antara 3 - 5 ppm.
2.1.4 Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Nila
Ikan nila memakan makanan alami berupa plankton, perifiton dan tumbuhtumbuhan lunak seperti hydrilla, ganggang sutera dan klekap. Oleh karena itu,
ikan nila digolongkan ke dalam omnivora (pemakan segala). Untuk budidaya,
ikan nila tumbuh lebih cepat hanya dengan pakan yang mengandung protein
sebanyak 20 - 25%.
Dari penelitian lebih lanjut kebiasaan makan ikan nila berbeda sesuai
tingkat usianya. Benih-benih ikan nila ternyata lebih suka mengkomsumsi
zooplankton, seperti rototaria, copepoda dan cladocera. Ikan nila ternyata tidak
hanya mengkonsumsi jenis makanan alami tetapi ikan nila juga memakan jenis
makanan tambahan yang biasa diberikan, seperti dedak halus, tepung bungkil
kacang, ampas kelapa dan sebagainya.
Ikan nila aktif mencari makan pada siang hari. Pakan yang disukai oleh
ikan nila adalah pakan ikan yang banyak mengandung protein terutama dari
pakan buatan yang berupa pelet.
2.2 Transportasi Ikan
Menurut Effendi (2004), yang dinamakan transportasi ikan hidup adalah
usaha memindahkan ikan dari suatu sentra produksi ke daerah sentra konsumsi
dengan kepadatan tinggi, biaya rendah, kelangsungan hidup ikan tinggi, dan
kondisi ikan sehat sampai tujuan.
Transportasi ikan hidup terbagi menjadi dua yaitu sistem tertutup dan sistem
terbuka. Sistem tertutup adalah menggunakan wadah yang tertutup dengan segala
persyaratan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup selama transportasi dan tidak
ada hubungan langsung antara air media dengan udara luar (Berka, 1986). Dalam
transportasi tertutup kebutuhan oksigen ikan selama transportasi disediakan
dengan cara memasukan oksigen murni sehingga bisa berdifusi kedalam air media
transportasi menjadi oksigen terlarut yang bisa dimanfaatkan oleh ikan (Effendi,
2004).
Transportasi tertutup terbagi menjadi sistem basah dan kering. Berdasarkan
Wibowo (1993), pada transportasi sistem basah, media dituntut sama dengan
tempat hidup ikan sebelumnya seperti air dan oksigen. Sistem transportasi ini
lebih menguntungkan, efesiensi penggunaan tempat, ikan yang diangkut lebih
banyak, dan dapat ditransportasikan hingga jarak yang jauh. Sedangkan
transportasi sistem kering adalah menggunakan media selain air seperti serbuk
gergaji.
Transportasi sistem terbuka adalah dengan mengisi wadah dengan air dan
segala kebutuhan untuk bertahan hidup selama transportasi diberikan secara
berkala dari luar kemudian disesuaikan dengan permasalahan persiapan ikan
untuk transportasi, jenis kendaraan dan perlengkapan, masalah kualitas dan
11
penggantian air selama transportasi, dan pencegahan menggunakan bahan kimia
selama transportasi ikan (Berka, 1986).
Faktor yang berpengaruh penting pada transportasi ikan adalah tersedianya
oksigen terlarut yang memadai. Kemampuan ikan untuk mengkonsumsi oksigen
dipengaruhi oleh toleransi terhadap stres, suhu, air, pH, konsentrasi CO2, dan sisa
metabolisme lain seperti amoniak (Junianto, 2003).
2.3 Biologi Daun Bandotan
2.3.1 Klasifikasi dan Deskripsi Daun Bandotan
Tanaman bandotan dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan dalam
kingdom Plantae, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas
Magnoliopsida, sub-kelas Astericae, ordo Asterales, familia Asteraceae, genus
Ageratum, spesies Ageratum conyzoides. L (Sukamto, 2007).
Menurut Sukamto (2007), tumbuhan ini di berbagai daerah Indonesia
memiliki nama yang berbeda antara lain di Jawa disebut bandotan, di Sumatera
dikenal daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tanaman ini mempunyai
daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh dimana-mana dan sering
menjadi gulma yang merugikan para petani.
Tanaman bandotan merupakan herba menahun, tumbuh tegak dengan tinggi
sekitar 30-90 cm dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungannya sehingga mudah tumbuh dimana saja dan sering dianggap sebagai
gulma bagi para petani. Batang bulat berambut, jika menyentuh tanah akan
mengeluarkan akar. Daun bulat telur dengan pangkal membulat, ujung runcing
dan berwarna hijau dengan panjang 1-10 cm dan lebar 0,5-6 cm (Sukamto, 2007).
12
Bentuk fisik tanaman bandotan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tanaman Bandotan
2.3.2 Fitokimia Daun Bandotan
Pada dasarnya tumbuhan memproduksi dua jenis senyawa, yaitu metabolit
primer dan metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan produk khas yang
ditemukan pada tumbuhan tertentu, sedangkan metabolit primer merupakan
produk essensial yang terdapat pada semua makhluk hidup yang digunakan untuk
kelangsungan hidup dan berkembang biak, misalnya protein, lemak, dan asam
nukleat.
Naim (2004) menyatakan bahwa tanaman memiliki suatu kemampuan yang
hampir tidak terbatas untuk mensintesis senyawa-senyawa aromatik, kebanyakan
dari senyawa tersebut adalah kelompok senyawa fenol.
Daun tanaman bandotan sebagai salah satu bagian dari tanaman obat
tradisional diketahui mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid,
13
terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tannin
(Ming 1999; Kamboj & Saluja, 2010).
Berdasarkan Nurdjanah (2007), penggunaan bahan alami seperti ekstrak
daun bandotan yang mengandung senyawa organik dapat digunakan untuk bahan
anestesi atau imotilisasi dengan memanfaatkan senyawa dari golongan alkaloid
dan aromatik. Beberapa golongan alkaloid yang dapat digunakan diantaranya
saponin, treonin, dan morfin. Golongan alkaloid memiliki sifat analgesik,
antibakteri, dan anti kanker. Sedangkan dari golongan senyawa aromatik
diantaranya eugenol, elemycin, myristicin, polifenol, dan safrole yang bersifat
menimbulkan daya halusinasi jika digunakan dalam konsentrasi tertentu.
Menurut Kardono (2003), bahwa daun bandotan bandotan mempunyai efek
spasmolitik dan analgesik serta memberikan pengaruh relaksasi pada otot polos.
Sedangkan Arindra (2007), menyatakan bahwa daun bandotan dapat memberikan
pengaruh menenangkan pada ikan sehingga mengurangi ekskresi produk
metabolik.
2.3.3 Ekstraksi
Dalam ekstraksi, prinsip dasar pemilihan pelarut pada proses ekstraksi
adalah kepolaran senyawa yang dianalisis harus sama dengan kepolaran
pelarutnya. Umumnya ekstraksi dilakukan untuk pemisahan dalam laboratorium,
misalnya pemisahan senyawa-senyawa organik (fase organik) dari larutan berair
(fase air) dengan menggunakan pelarut yang tidak dapat bercampur (Harvey,
2000).
Dalam pemilihan pelarut yang akan dipakai, harus memperhatikan sifat
kandungan kimia (metabolit) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah
14
kepolaran dan gugus polar pada senyawa yang akan diekstrak seperti gugus OH,
COOH, dan juga gugus fungsi lainnya. Dengan mengetahui sifat metabolit yang
akan diekstraksi, maka dengan mudah dapat dipilih pelarut yang sesuai
berdasarkan kepolaran metabolit dan pelarut.
Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non-polar akan
larut dalam pelarut non-polar. Derajat kepolaran bergantung pada ketetapan
dielektrik, makin besar tetapan dielektrik maka akan semakin polar pelarut
tersebut. Beberapa pelarut organik yang sering digunakan dalam proses ekstraksi
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa Pelarut Organik dan Sifat Fisiknya
Pelarut Titik didih (°C) Tetapan dielektrik
Air 100 80
Asam format 100 58
Asetonitril 81 36,6
Metanol 68 33
Etanol 78 24,3
Aseton 56 20,7
Metil klorida 40 9,08
Asam asetat
Etil asetat
Dietil eter
Heksana
Benzena
118
78
45
69
80
6,15
6,02
4,34
2,02
2,28
(Sumber : Anonim, 2008).
2.3.4 Imotilisasi
Pembiusan (imotilisasi) merupakan proses yang dilakukan untuk
menurunkan aktivitas, metabolisme dan respirasi biota perairan sebelum
15
ditransportasikan. Kondisi imotil diperlukan agar proses metabolisme benih ikan
berkurang sehingga aktivitas fisiologis, kebutuhan oksigen dan produksi CO2
benih ikan menjadi rendah (Nitibaskara dkk, 2006).
Terdapat beberapa teknik imotilisasi biota perairan, yaitu dengan
menggunakan suhu rendah atau zat anti metabolit (anestesi). Teknik imotilisasi
menggunakan bahan anti metabolit alami yang dapat digunakan untuk membius
benih ikan antara lain ekstrak biji karet, minyak cengkeh, dan ekstrak akar tuba,
sedangkan bahan anti metabolit sintetis yang biasa digunakan dalam transportasi
ikan hidup adalah MS-222 dan CO2. Sedangkan menggunakan suhu rendah dapat
dilakukan dengan penurunan suhu secara bertahap maupun secara langsung
(Suryaningrum dkk, 2005).
Teknik imotilisasi dapat dilakukan menggunakan bahan anestesi alami.
Anestesi merupakan suatu kondisi ketika tubuh atau bagian tubuh kehilangan
kemampuan untuk merasa (insensibility). Imotilisasi memiliki tujuan agar ikan
yang diimotilisasikan bersifat imotil saat ditransportasikan. Imotilisasi sendiri
memiliki prinsip hibernasi dimana suatu organisme diusahakan metabolismenya
dapat ditekan hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih
lama lagi (Schoemaker, 1991 dalam Suryaningrum, 2005).
Anestesi dapat disebabkan oleh senyawa kimia, suhu dingin, arus listrik atau
penyakit (Tidwell et al, 2004). Bahan anestesi mengganggu secara langsung
maupun tidak langsung terhadap keseimbangan kationik tertentu di dalam otak
selama masa anestesinya. Terganggunya keseimbangan ionik dalam otak
menyebabkan ikan tersebut mati rasa karena saraf kurang berfungsi.
Respon Tingkah Laku Ikan dalam Tahap Pemingsanan
Tingkat Sinonim Respon tingkah laku ikan
0 Normal Reaktif terhadap rangsangan luar, pergerakan
operkulum dan kontraksi otot normal
Ia Pingsan ringan
(light sedation)
Reaktifitas terhadap rangsangan luar sedikit
menurun, pergerakan operkulum melambat,
keseimbangan normal
Ib Pingsan (deep
sedation)
Reaktifitas terhadap rangsangan luar tidak ada,
kecuali dengan tekanan kuat. Pergerakan
operkulum lambat, keseimbangan normal
IIa Kehilangan
keseimbangan
sebagian
Kontraksi otot lemah, berenang tidak teratur
memberikan reaksi hanya terhadap rangsangan
getaran dan sentuhan yang sangat kuat,
pergerakan operkulum cepat
IIb Kehilangan
keseimbangan
total
Kontraksi otot berhenti, pergerakan operkulum
lemah namun teratur, reflek urat saraf tulang
belakang menghilang
III Gerakan reflek
tidak ada
Reaktifitas tidak ada, pergerakan operkulum
lambat dan tidak teratur, detak jantung lambat,
reflek tidak ada
IV Roboh (medullary
collaps)
Pergerakan operkulum berhenti, respirasi
terhenti, diikuti beberapa menit kemudian
penghentian detak jantung
Sumber :(Tidwell et.al, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar