Senin, 08 April 2019

MENGENAL IKAN NILA LEBIH DEKAT

2.1 Biologi Ikan Nila
2.1.1 Klasifikasi Ikan Nila
Klasifikasi ikan nila berdasarkan Suyanto (2003) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub-filum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea Family : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus. Ikan nila (Oreochromis niloticus) pada awalnya dimasukkan ke dalam jenis Tilapia nilotica atau ikan dari golongan tilapia yang mengerami telur dan larva di dalam mulutnya. Pada tahun 1982 nama ilmiah ikan nila menjadi Oreochromis niloticus. Perubahan nama tersebut telah disepakati dan dipergunakan oleh ilmuan meskipun dikalangan awam tetap disebut Tilapia niloticus (Khairuman dan Amri, 2008).

2.1.2 Morfologi Ikan Nila
Ikan nila memiliki bentuk tubuh pipih memanjang ke samping, makin ke perut makin terang. Mempunyai garis vertikal 9-11 buah berwarna hijau kebiruan. Pada sirip ekor terdapat 6-12 garis melintang yang ujungnya berwarna kemerah-merahan, sedangkan punggungnya terdapat garis-garis miring. Mata tampak menonjol agak besar dengan bagian tepi berwarna hijau kebiru-biruan. Letak mulut ikan nila terminal, posisi sirip perut terhadap sirip dada thorochis, garis susuk (linea lateralis) terputus menjadi dua bagian. Jumlah sisik pada garis rusuk 34 buah dan tipe sisik stenoid (ctenoid). Bentuk sirip ekor berpinggiran tegak (Kordi, 1997). Morfologi ikan dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus) (Sumber : Dokumen Pribadi) Jenis kelamin ikan nila yang masih kecil, belum dapat dilihat dengan jelas apakah jantan atau betina. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4 - 5 bulan yang beratnya telah mencapai 100-150 gram sudah mulai kawin dan bertelur (Suyanto, 2003).

2.1.3 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Nila Ikan nila mempunyai habitat di perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk dan rawa. Tetapi karena toleransinya yang tinggi terhadap salinitas, maka ikan dapat hidup dan berkembang biak di perairan payau dan laut. Salinitas yang disukai antara 0 - 35 ppt. Ikan nila yang masih kecil lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dibanding dengan ikan yang sudah besar (Suyanto, 2003). Menurut Panggabean (2009), kualitas air yang sesuai dengan habitat ikan nila adalah pH optimal antara 7 - 8, suhu optimal antara 25 - 30oC, dan salinitas 0 - 35 ppt, amoniak antara 0 - 2,4 ppm, dan DO berkisar antara 3 - 5 ppm.

2.1.4 Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Nila Ikan nila memakan makanan alami berupa plankton, perifiton dan tumbuhtumbuhan lunak seperti hydrilla, ganggang sutera dan klekap. Oleh karena itu, ikan nila digolongkan ke dalam omnivora (pemakan segala). Untuk budidaya, ikan nila tumbuh lebih cepat hanya dengan pakan yang mengandung protein sebanyak 20 - 25%. Dari penelitian lebih lanjut kebiasaan makan ikan nila berbeda sesuai tingkat usianya. Benih-benih ikan nila ternyata lebih suka mengkomsumsi zooplankton, seperti rototaria, copepoda dan cladocera. Ikan nila ternyata tidak hanya mengkonsumsi jenis makanan alami tetapi ikan nila juga memakan jenis makanan tambahan yang biasa diberikan, seperti dedak halus, tepung bungkil kacang, ampas kelapa dan sebagainya. Ikan nila aktif mencari makan pada siang hari. Pakan yang disukai oleh ikan nila adalah pakan ikan yang banyak mengandung protein terutama dari pakan buatan yang berupa pelet.

2.2 Transportasi Ikan Menurut Effendi (2004), yang dinamakan transportasi ikan hidup adalah usaha memindahkan ikan dari suatu sentra produksi ke daerah sentra konsumsi dengan kepadatan tinggi, biaya rendah, kelangsungan hidup ikan tinggi, dan kondisi ikan sehat sampai tujuan. Transportasi ikan hidup terbagi menjadi dua yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup adalah menggunakan wadah yang tertutup dengan segala persyaratan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup selama transportasi dan tidak ada hubungan langsung antara air media dengan udara luar (Berka, 1986). Dalam transportasi tertutup kebutuhan oksigen ikan selama transportasi disediakan dengan cara memasukan oksigen murni sehingga bisa berdifusi kedalam air media transportasi menjadi oksigen terlarut yang bisa dimanfaatkan oleh ikan (Effendi, 2004). Transportasi tertutup terbagi menjadi sistem basah dan kering. Berdasarkan Wibowo (1993), pada transportasi sistem basah, media dituntut sama dengan tempat hidup ikan sebelumnya seperti air dan oksigen. Sistem transportasi ini lebih menguntungkan, efesiensi penggunaan tempat, ikan yang diangkut lebih banyak, dan dapat ditransportasikan hingga jarak yang jauh. Sedangkan transportasi sistem kering adalah menggunakan media selain air seperti serbuk gergaji. Transportasi sistem terbuka adalah dengan mengisi wadah dengan air dan segala kebutuhan untuk bertahan hidup selama transportasi diberikan secara berkala dari luar kemudian disesuaikan dengan permasalahan persiapan ikan untuk transportasi, jenis kendaraan dan perlengkapan, masalah kualitas dan 11 penggantian air selama transportasi, dan pencegahan menggunakan bahan kimia selama transportasi ikan (Berka, 1986). Faktor yang berpengaruh penting pada transportasi ikan adalah tersedianya oksigen terlarut yang memadai. Kemampuan ikan untuk mengkonsumsi oksigen dipengaruhi oleh toleransi terhadap stres, suhu, air, pH, konsentrasi CO2, dan sisa metabolisme lain seperti amoniak (Junianto, 2003). 2.3 Biologi Daun Bandotan 2.3.1 Klasifikasi dan Deskripsi Daun Bandotan Tanaman bandotan dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan dalam kingdom Plantae, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub-kelas Astericae, ordo Asterales, familia Asteraceae, genus Ageratum, spesies Ageratum conyzoides. L (Sukamto, 2007). Menurut Sukamto (2007), tumbuhan ini di berbagai daerah Indonesia memiliki nama yang berbeda antara lain di Jawa disebut bandotan, di Sumatera dikenal daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh dimana-mana dan sering menjadi gulma yang merugikan para petani. Tanaman bandotan merupakan herba menahun, tumbuh tegak dengan tinggi sekitar 30-90 cm dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya sehingga mudah tumbuh dimana saja dan sering dianggap sebagai gulma bagi para petani. Batang bulat berambut, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar. Daun bulat telur dengan pangkal membulat, ujung runcing dan berwarna hijau dengan panjang 1-10 cm dan lebar 0,5-6 cm (Sukamto, 2007). 12 Bentuk fisik tanaman bandotan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Tanaman Bandotan 2.3.2 Fitokimia Daun Bandotan Pada dasarnya tumbuhan memproduksi dua jenis senyawa, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan produk khas yang ditemukan pada tumbuhan tertentu, sedangkan metabolit primer merupakan produk essensial yang terdapat pada semua makhluk hidup yang digunakan untuk kelangsungan hidup dan berkembang biak, misalnya protein, lemak, dan asam nukleat. Naim (2004) menyatakan bahwa tanaman memiliki suatu kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk mensintesis senyawa-senyawa aromatik, kebanyakan dari senyawa tersebut adalah kelompok senyawa fenol. Daun tanaman bandotan sebagai salah satu bagian dari tanaman obat tradisional diketahui mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, 13 terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tannin (Ming 1999; Kamboj & Saluja, 2010). Berdasarkan Nurdjanah (2007), penggunaan bahan alami seperti ekstrak daun bandotan yang mengandung senyawa organik dapat digunakan untuk bahan anestesi atau imotilisasi dengan memanfaatkan senyawa dari golongan alkaloid dan aromatik. Beberapa golongan alkaloid yang dapat digunakan diantaranya saponin, treonin, dan morfin. Golongan alkaloid memiliki sifat analgesik, antibakteri, dan anti kanker. Sedangkan dari golongan senyawa aromatik diantaranya eugenol, elemycin, myristicin, polifenol, dan safrole yang bersifat menimbulkan daya halusinasi jika digunakan dalam konsentrasi tertentu. Menurut Kardono (2003), bahwa daun bandotan bandotan mempunyai efek spasmolitik dan analgesik serta memberikan pengaruh relaksasi pada otot polos. Sedangkan Arindra (2007), menyatakan bahwa daun bandotan dapat memberikan pengaruh menenangkan pada ikan sehingga mengurangi ekskresi produk metabolik. 2.3.3 Ekstraksi Dalam ekstraksi, prinsip dasar pemilihan pelarut pada proses ekstraksi adalah kepolaran senyawa yang dianalisis harus sama dengan kepolaran pelarutnya. Umumnya ekstraksi dilakukan untuk pemisahan dalam laboratorium, misalnya pemisahan senyawa-senyawa organik (fase organik) dari larutan berair (fase air) dengan menggunakan pelarut yang tidak dapat bercampur (Harvey, 2000). Dalam pemilihan pelarut yang akan dipakai, harus memperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah 14 kepolaran dan gugus polar pada senyawa yang akan diekstrak seperti gugus OH, COOH, dan juga gugus fungsi lainnya. Dengan mengetahui sifat metabolit yang akan diekstraksi, maka dengan mudah dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan kepolaran metabolit dan pelarut. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non-polar akan larut dalam pelarut non-polar. Derajat kepolaran bergantung pada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik maka akan semakin polar pelarut tersebut. Beberapa pelarut organik yang sering digunakan dalam proses ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Beberapa Pelarut Organik dan Sifat Fisiknya Pelarut Titik didih (°C) Tetapan dielektrik Air 100 80 Asam format 100 58 Asetonitril 81 36,6 Metanol 68 33 Etanol 78 24,3 Aseton 56 20,7 Metil klorida 40 9,08 Asam asetat Etil asetat Dietil eter Heksana Benzena 118 78 45 69 80 6,15 6,02 4,34 2,02 2,28 (Sumber : Anonim, 2008). 2.3.4 Imotilisasi Pembiusan (imotilisasi) merupakan proses yang dilakukan untuk menurunkan aktivitas, metabolisme dan respirasi biota perairan sebelum 15 ditransportasikan. Kondisi imotil diperlukan agar proses metabolisme benih ikan berkurang sehingga aktivitas fisiologis, kebutuhan oksigen dan produksi CO2 benih ikan menjadi rendah (Nitibaskara dkk, 2006). Terdapat beberapa teknik imotilisasi biota perairan, yaitu dengan menggunakan suhu rendah atau zat anti metabolit (anestesi). Teknik imotilisasi menggunakan bahan anti metabolit alami yang dapat digunakan untuk membius benih ikan antara lain ekstrak biji karet, minyak cengkeh, dan ekstrak akar tuba, sedangkan bahan anti metabolit sintetis yang biasa digunakan dalam transportasi ikan hidup adalah MS-222 dan CO2. Sedangkan menggunakan suhu rendah dapat dilakukan dengan penurunan suhu secara bertahap maupun secara langsung (Suryaningrum dkk, 2005). Teknik imotilisasi dapat dilakukan menggunakan bahan anestesi alami. Anestesi merupakan suatu kondisi ketika tubuh atau bagian tubuh kehilangan kemampuan untuk merasa (insensibility). Imotilisasi memiliki tujuan agar ikan yang diimotilisasikan bersifat imotil saat ditransportasikan. Imotilisasi sendiri memiliki prinsip hibernasi dimana suatu organisme diusahakan metabolismenya dapat ditekan hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih lama lagi (Schoemaker, 1991 dalam Suryaningrum, 2005). Anestesi dapat disebabkan oleh senyawa kimia, suhu dingin, arus listrik atau penyakit (Tidwell et al, 2004). Bahan anestesi mengganggu secara langsung maupun tidak langsung terhadap keseimbangan kationik tertentu di dalam otak selama masa anestesinya. Terganggunya keseimbangan ionik dalam otak menyebabkan ikan tersebut mati rasa karena saraf kurang berfungsi.
Respon Tingkah Laku Ikan dalam Tahap Pemingsanan Tingkat Sinonim Respon tingkah laku ikan 0 Normal Reaktif terhadap rangsangan luar, pergerakan operkulum dan kontraksi otot normal Ia Pingsan ringan (light sedation) Reaktifitas terhadap rangsangan luar sedikit menurun, pergerakan operkulum melambat, keseimbangan normal Ib Pingsan (deep sedation) Reaktifitas terhadap rangsangan luar tidak ada, kecuali dengan tekanan kuat. Pergerakan operkulum lambat, keseimbangan normal IIa Kehilangan keseimbangan sebagian Kontraksi otot lemah, berenang tidak teratur memberikan reaksi hanya terhadap rangsangan getaran dan sentuhan yang sangat kuat, pergerakan operkulum cepat IIb Kehilangan keseimbangan total Kontraksi otot berhenti, pergerakan operkulum lemah namun teratur, reflek urat saraf tulang belakang menghilang III Gerakan reflek tidak ada Reaktifitas tidak ada, pergerakan operkulum lambat dan tidak teratur, detak jantung lambat, reflek tidak ada IV Roboh (medullary collaps) Pergerakan operkulum berhenti, respirasi terhenti, diikuti beberapa menit kemudian penghentian detak jantung Sumber :(Tidwell et.al, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar